Kalur, yu seblak, ajeng, dan karep
gelisah mendengar rencana pemugaran monumen. Yu seblak menggelar peta kota,
mencari tempat kosong untuk pangkalan dirinya, jika monumen itu benar-benar
dipugar.
Yu seblak : (menunjuk-nunjuk peta)
“disini, di belakang mal ini, bagus
juga.”
Kalur : (menyahut
sinis)
“Tapi ... disitu padat. Nanti
mengeluh, ... nggak nyaman ... kalau mau
nyaman ya di perumahan...”
Yu seblak :
“Cringis! (tetap asyik menunjuk
peta) kalau disini, lumayan kosong ... dan asyiik.”
Kalur : (sinis)
“Tapi dekat rel, brebeg, bising. Nggak
nyaman untuk indehoy. Kalau mau nyaman ya dihotel ... “
Yu seblak :
Cerewet!
“kalau di sini, ya ... ya ... taman
kita ini lumayan juga ....”
Kalur : (sinis)
“Tapi sering ada garukan. Nanti
digaruk, marah.”
Yu seblak :
“Ya ... ya ... di sini, dekat stasiun. Aman.”
Kalur :
“Tapi ... banyak kerenya .... nanti dianggap kere,
tersinggung. Padahal kan Cuma gelandangan ...”
Yu seblak :
“Tapi rak ... gelandangan terhormat.”
Kalur :
“Terhormat kok terlunta-lunta.”
Yu seblak :
“Kamu ini ngapa to kok sirik?”
(asyik dengan
petanya) “yahhh ... yahh disana saja di
alun-alun jembar malah leluasa.
Kalur :
“Tapi kalau hujan gimana?”
Yu seblak :
“Oya ... ya. Apa arep bukak praktek
wae ndadak ngedekne tenda.”
Kalur : (merebut peta)
“Pemugaran ini baru rencana kok kamu
sibuk ngapling tempat. Memangnya yang punya kota itu kamu? Iya?”
Yu seblak : (berusaha merebut peta)
“Kembalikan peta pusakaku! Balek-ke!”
Kalur melempar peta.
Kalur :
“Kemayu ... apa lu kira elu ini
birokrat tata kota?”
Yu seblak :
“Lho ... bertahun-tahun saya
beroperasi ya menggunakan peta ini. Dengan peta ini, seluruh kota saya kuasai.
Saya jadi tahu tempat-tempat mana yang rawan garukan ... (melipat dan
menyembah peta) peta pusoko je ...”
Kalur : (mencibir
dan ingin merebut peta tapi tidak kena)
“Pusoko ... pusoko oppooohhhh?”
Karep : (bergaya khas intelektual)
“Kang kalur. Saya kira yu seblak
benar. Kalau monumen ini dipugar, dan dijadikan objek wisata unggulan, otomatis
ada perubahan manajerial. Tempat ini harus steril dari orang-orang macam kita.
Akan ada tim satpam yang menjaga kompleks ini. Orang masuk harus beli karcis.
Belum lagi muncul berbagai peraturan yang mengikat.”
Ajeng :
“Terus bagaimana sikap kita?”
Karep :
“Itu yang sedang aku pikirkan!”
Yu seblak :
“Mikir maneh ... penggusuran kok cuma dipikir, keburu disruduk
buldoser ...!”
Kalur :
“Sekarang kita perlu menempuh
cara-cara menghadapi penggusuran. Itu lebih relavan dan urgen! Kita mesti turun
ke jalan! Kita kumpulkan seluruh gelandangan di kota ini untuk demo. Dan saya
yakin banyak LSM yang kepincut dengan proyek ini. Karena gelandangan macam kita
ini sangat laris untuk dijual!”
Karep :
“Itu yang aku pikirkan!”
Kalur dan yu seblak
: (koor)
“Mikir maneh ... “
Karep :
“Itulah bedanya aku dan kalian. Aku
berpikir dulu sebelum bertindak, sedang kalian bertindak dulu tanpa pikiran.
Yahhh, level kita memang beda.”
Yu seblak :
“Apanya yang berbeda. Kamu ini tak
kalah gembelnya dibanding kami.”
Kalur :
“Bahkan kegembelanmu itu lebih serius
dari pada kami ...”
Karep :
“Aku pikir memang ... begitu, tetapi
aku jadi gembel ini hanyalah proses menurut aku menjadi gelandangan merupakan
prosedur awal menjadi filosof sejati.”
Ajeng :
“Sejati ... sejati apa? Filosof sejati
kok apa-apa maunya gratisan. Makan, minum bahkan tidur pun minta gratisan.”
Karep :
“Itulah inti kehidupan, dimana orang
saling tulus memberi dan menerima. Itulah yang disebut hidup yang sejati. Tak
ada jual beli, tak ada negosiasi.”
Ajeng :
“Lha kamu ini cuma mau menerima terus,
tapi tak pernah memberi.”
Karep :
“Aku pikir ... hidup ini untuk
memberi, jeng. Bukan untuk meminta.”
Yu seblak :
“Filsafat lagi. Filsafat gratisan aja
dibangga-banggakan. Makan filsafatmu itu, makan! Orang kita bingung mau digusur
paksa kok kamu malah ngoceh ...”
Karep :
“Lho aku ini bukannya ngoceh, tetapi
memberikan ide-ide cemerlang! Menurut aku, kita perlu mendesain gerakan-gerakan
yang lebih kultural dan beradab. Artinya, meskipun kita ini gelandangan, ya
gelandangan yang civilized, yang beradab.”
Kalur :
“Apa gelandangan sipilis?”
Karep : (mengeja gaya intelektual yang
difasih-fasihkan)
“C i v e l i z e d, guoooblokk!
Sipilis itu kan penyakit favoritmu!”
Kalur :
“Enak aja ngomong sipilis. Aku ini
pantang sipilis, tetapi kalau herpes atau GO, sering. Dan lagi, kamu ini
ngomong dakik-dakik, dengan ludah berbusa-busa itu ya mau apa to? Kita butuh
gerakan yang kongret. Turun ke jalan!”
Karep :
“Aku pikir turun kejalan itu kurang
elegan, kurang anggun. Kita bisa protes dengan cara lain. Misalnya, sengaja
meledakkan monumen ini, tanpa kita harus lari. Begitu monumen ini hancur dan
kita binasa, maka kita pun akan dikenang sebagai tonggak perjuangan melawan
penggusuran. Nama kita pun abadi. Kelak, orang-orang pun akan mendirikan
monumen buat kita. Namanya, monumen ...”
(musik tipis mengalun)
“Kita akan selalu terusir. Terusir
bagai debu ditiup asap knalpot mobil-mobil mewah. Kamu, yu seblak ... kamu akan
terlunta-lunta menyisir kota demi kota menawarkan daganganmu kepada angin ...”
“Begitu juga dengan kamu Ajeng. Hanya
nasib baik serupa Pretty Women yang akan mengangkatmu untuk dijadikan Putri
Cinderella.”
“Aku sendiri, akan kehilangan habitat,
kehilangan kebebasan dimana aku bisa mereguk inspirasi demi inspirasi ... dan
kamu, kang kalur ...”
Musik berhenti
Kalur : (cepat
memotong)
“Kalau aku laen. Laen! Sangat laen.” (musik
berhenti)
“Aku ini copet mandiri. Bisa survive
dengan keterampilan tanganku. Dengan hasil copetan yang luar biasa banyaknya,
aku akan membangun rumah mewah, membangun panti sosial untuk menampung
kalian-kalian ini ... agar tidak jadi debu ...”
Yu seblak : (menyahut cepat)
“Itu kalau kamu tidak keburu ditangkep
dan digebyur bensin lalu dibakar! Kalau itu terjadi, akhirnya ya sama, kamu
juga jadi abu ...”
Ajeng :
“Oalah ... nasib ... nasib ... kok
tidak pernah ada enaknya. Pergi ke barat, dihardik ... pergi ke timur, dicekik
... pergi ke utara, dihantam ... pergi ke selatan, dirajam ... oalah ... nasib
... nasib ...”
Komentar
Posting Komentar